Kisah nyata berikut datang dari negeri Tirai Bambu, China, tentang
pengorbanan luar biasa seorang adik kepada kakak perempuannya. Berikut
kisahnya :
Aku adalah seorang gadis yang lahir besar di sebuah
dusun terpencil di daerah pegunungan. Aku mempunyai seorang adik
laki-laki yang umurnya tiga tahun dibawahku. Kami berasal dari keluarga
yang bisa digolongkan miskin. Kedua orang tua kami setiap hari bekerja
di ladang.
Suatu hari karena aku ingin sekali membeli manisan
yang di jual di toko, aku nekad mencuri uang lima puluh sen yang di
simpan di laci ayahku. namun ternyata Ayah menyadarinya, Ayah memanggil
aku dan adik. Disuruhnya kami berlutut membelakangi tembok.
Dengan sebuah tongkat bambu di tangan ayah mulai bicara dengan nada agak keras, "Siapa yang mencuri uang ayah?"
Aku dan adik diam terpaku, tidak ada yang berani menjawab. Ayah makin naik pitam karena tidak ada yang mengaku.
"baiklah,
kalo begitu kalian berdua layak untuk dipukul" bentak ayah sambil
mengangkat tongkat bambu tinggi-tinggi. Tapi tiba-tiba adikku mencekram
tangan Ayah sambil berkata, "Ayah, aku yang mengambil uang itu"
Bukan
main marahnya Ayah mendengar jawaban adikku, dengan sekuat tenaga Ayah
menghantamkan tongkat bambu itu bertubi-tubi ketubuh kecil adikku. Ayah
baru berhenti ketika dia capek dan kehabisan napas. Lalu Ayah duduk di
atas ranjang, sambil terengah-engah Ayah memarahi adikku, "Kamu masih
kecil sudah berani mencuri ya! Mau jadi apa kalau sudah besar nanti!
Kamu layak di pukul sampai mati. Dasar tidak tahu malu!"
Malam
itu aku dan ibu menangis sambil memeluk tubuh adikku yang penuh
luka-luka. Namun adikku tidak mengeluarkan air mata setetespun. Dan
secara tiba-tiba tangisanku meledak karena iba melihat keadaan adikku.
Tapi tangan kecil Adikku menutup mulutku sambil dia berkata, "Sudahlah
Kak jangan menagis lagi. Semuanya sudah terjadi"
Bertahun-tahun
sudah lewat, namun peristiwa itu selalu ku ingat, bahkan aku merasa
peristiwa itu baru kemarin saja terjadi. Aku tidak akan pernah bisa lupa
raut muka adikku ketika dia melindungiku. Satu hal yang aku sesalkan
dan aku benci sampai sekarang, mengapa pada waktu itu aku tidak punya
keberanian untuk mengakui perbuatanku. Saat itu adikku berumur 8 tahun
dan aku 11 tahun.
Ketika lulus SMP, adikku ikut ujian masuk SMA
di pusat Kabupaten, dan hasilnya ia lulus. Pada saat yang sama akupun di
terima di Perguruan Tinggi Negeri Propinsi. Malam itu Ayah duduk di
halaman rumah, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus habis
Ayah hisap. Saya tahu Ayah sedang bingung saat itu.
Lalu Ayah berkata kepada Ibu duduk di sebelah, "kedua anak kita memberikan hasil yang baik....hasil yang baik......"
Ibu
mengusap air mata di pipi sambil menghela napas, "Ya, tapi apa gunanya?
Kita tidak akan sanggup membiayai sekolah keduanya sekaligus."
Adikku yang melihat kedua orang tuanya sedang bingung, tiba-tiba keluar rumah dan berdiri dihadapan Ayah.
"Ayah, aku tidak mau lagi melanjutkan sekolah, aku sudah cukup banyak membaca buku." demikian perkataan adikku di hadapan Ayah.
Mendengar
itu, spontan Ayah menampar wajah adikku. lalu ia berkata, "Mengapa kamu
mempuyai mental yang begitu keparat lemahnya! Kalupun harus menjadi
pengemis di jalanan, aku akan melakukannya untuk menyekolahkan kalian
berdua hingga selesai."
Aku segera mendekati adikku, lembut
kuusap wajah adikku yang membengkak akibat tamparan Ayah, lalu ku
katakan, "Anak laki-laki itu harus terus sekolah, kalau tidak, kita
tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini. Aku telah
memutuskan, tidak akan melanjutkan sekolah ke universitas."
Tapi
sungguh di luar dugaan, keesokan harinya, sebelum subuh tiba, adikku
pergi meninggalkan rumah hanya dengan membawa beberapa helai baju lusuh
dan sedikit kacang kering sebagai bekalnya. Rupanya dia sempat masuk
kamarkan dan meninggalkan selembar kertas berisi pesan : "Kak, masuk
Universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimi
Kakak uang."
Aku memegang erat-erat kertas tersebut di atas
tempat tidurku. Aku menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku
hilang. Saat itu adikku berumur 17 tahun dan aku 20 tahun.
Tak
terasa aku sudah berada di tahun ketiga kuliahku. Ini semua berkat usaha
Ayahku yang meminjam uang dari seluruh penduduk kampung dan uang
kiriman adikku dari hasil pekerjaannya sebagai kuli pengangkut semen.
Sampai pada suatu hari ketika aku sedang belajar di kamar, teman
sekamarku masuk dan memberitahu, "Ada seorang penduduk kampung mencarimu
di luar sana."
Sambil bingung aku keluar kamar, siapa dan
mengapa penduduk kampung mencariku? Ketika sampai di luar, aku mendapati
Adikku sedang berdiri di sana. Tubuhnya kotor tertutupi debu semen dan
pasir. Akupun heran dan bertanya padanya, "Mengapa tidak bilang pada
temanku kalau kamu adalah adikku?"
Diapun menjawab sambil
tersenyum, "Lihat penampilanku, mana mungkin aku akan membuat kamu malu
dengan mengaku sebagai adik kepada temanmu. Mereka pasti akan
mentertawakanmu!"
Aku terenyuh, mataku telah menganak sungai.
Dengan tanganku aku menyeka debu-debu di tubuhnya, dan dengan suara
terbata-bata aku coba bicara, "aku tidak peduli omongan orang, kamu akan
tetap jadi adikku, bagaimanapun penampilanmu."
Dari sakunya ia
mengeluarkan sebuah saputangan motif bunga-bunga yang indah, dan
memberikannya padaku. Ia berkata, "Saya melihat semua gadis di kota
membawa sapu tangan seperti ini, jadi saya pikir kakak juga harus
memilikinya satu."
Aku tak kuasa lagi menahan diri, aku menarik
adikku dan memeluknya. Aku menangis dan terus menangis dalam pelukannya.
Saat itu adikku berumur 20 tahun dan aku 23 tahun.
Pada waktu
pacarku datang kerumah untuk yang pertama kalinya, jendela rumah yang
sudah bertahun-tahun tidak ada kacanya, tiba-tiba saja sudah terpasang
kaca dengan rapi. Suasana rumahpun nampak bersih disetiap sudutnya.
Setelah
pacarku pulang, aku menari-nari kegirangan seperti anak keci di depan
Ibuku. Aku berkata, "Bu, sekarang Ibu tidak perlu membuang banyak waktu
lagi untuk membersihkan rumah. Jendela sudah dipasangi kaca, debu tidak
lagi banyak masuk kerumah."
Tapi sambil tersenyum Ibu berkata,
"Itu Adikmu yang pulang kerja lebih awal untuk membersihkan rumah ini.
Kamu belum lihat luka di tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca
jendela itu."
Aku masuk kedalam kamar kecil adikku. Ketika
melihat wajah kurusnya, terasa ratusan jarum menusukku. Ku tarik
tangannya yang penuh luka, kuoleskan saleb lalu ku balut dengan perban
agar cepat membaik.
"Apakah ini sakit?" Aku bertanya padanya.
"Tidak,
tidak sakit. Kakak tahu, waktu saya bekerja di lokasi bangunan,
batu-batu berjatuhan menimpa kakiku setiap saat. Tapi itu tidak
menghentikakku bekerja, dan ...." Sebelum adikku meneruskan ceritanya,
aku segera membalikan tubuhku memunggunginya, aku menagis sesungukan.
Deras air mata mengalir ke pipiku. Kala itu Adikku berumur 23 tahun dan
Aku 26 tahun.
Ketika sudah menikah, aku tinggal di kota. Sudah
terlalu sering aku dan suami mengajak kedua orang tuaku untuk tinggal
bersama kami di kota., tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka bilang, di
kota tidak ada pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Adikku pun tidak
setuju, dia mengatakan, "Jagalah mertua Kakak saja. Saya akan menjaga
Ibu dan Ayah di sini."
Suamiku adalah direktur di sebuah pabrik.
Aku dan suamiku telah sepakat untuk mengangkat Adikku menjadi manager di
salah satu departemen pabrik tersebut. Namun Adikku menolak tawaran
tersebut. Dia bersikeras ingin memulai pekerjaan dari bawah, yakni
sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari Adikku sedang memperbaiki
kabel listrik dan berdiri di atas tangga. Namun naas, adikku tersengat
listrik, dan harus di rawat di rumah sakit.
Aku dan suami segera
ke rumah sakit menjenguk Adikku. Di rumah sakit ku dapati Adikku sudah
di baluti gips putih pada bagian kakinya. Akupun menggerutu padanya,
"Lihat dirimu sekarang, luka yang begini serius. Ini karena kamu tidak
mau mendengar kami sebelumnya. Mengapa kamu menolak menjadi manager?
Manager tidak pernah melakukan pekerjaan berbahaya seperti ini."
Dengan
tampang serius, Adikku coba membela diri, "Pikirkan kakak ipar, dia
baru saja di angkat jadi direktur. Kalau aku yang hampir tidak
berpendidikan ini diangkat jadi manager, apa yang akan orang-orang
bicarakan nanti?"
Suamiku menahan tangis, matanya di penuhi air mata.
Dengan terbata-bata aku coba berucap, "Kamu kurang pendidikan juga karena aku."
Adikku menggemgam tanganku dan berkata, "Mengapa kakak membicarakan masa lau."
Saat itu Adikku berumur 26 tahun, dan Aku 29 tahun.
Pada
usia 30 tahun Adikku menikahi seorang gadis anak petani dari dusun
kami. Dalam acara pernikahannya si pembawa acara bertanya pada Adikku,
"Siapa orang yang paling kamu hormati dan sayangi?"
Tanpa berfikir spontan Adikku menjawab, "Kakakku"
Lalu adikku mulai bercerita tentang sutu peristiwa yang aku sendiri bahkan sudah lupa peristiwa tersebut.
"Dulu
waktu masih SD, tiap hari aku dan kakakku berjalan kaki selama dua jam
untuk sampai ke sekolah. Sekolah kami letaknya jauh berada pada dusun
yang berbeda dengan dusun kami. Saat itu sedang musim dingin, saat
perjalanan pulang dari sekolah aku kehilangan satu sarung tanganku. Lalu
Kakakku memberikan satu sarung tanggannya kepadaku. Dengan perjalan
sejauh itu kakakku hanya mengenakan satu sarung tangan. Sesampainya di
rumah, tangan kakakku gemetaran karena terlalu dingin, bahkan memegang
sumpitpun tidak bisa lagi. Sejak hari itu saya bersumpah pada diri
sendiri, selama saya masih hidup, saya akan selalu menjaga dan berbuat
baik tehadapa kakakku."
Tak pelak lagi, semua pandangan mata
orang yang ada di ruangan itu di arahkan padaku, dan tepuk tanganpun
membahana dari setiap sudut ruangan.
Leherku terasa tercekat,
kata-kata terasa begitu sulit keluar dari bibirku. Dengan gugup aku
berkata, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterimakasih adalah
Adikku."
Hari itu, di depan banyak orang, dan di moment bahagia
Adikku, airmataku bercucuran deras membasahi pipi. Saat itu umurku 33
tahun.
No comments:
Post a Comment